Keberadaan Prasasti Kawali di Situs Astana Gede Kawali
Dusun Indrayasa Kecamatan Kawali Kabupaten Ciamis
(Suatu Tinjauan Sejarah)
Oleh
:
RIZKA SYAMSIYAH NOOR
NIM.
2105110008
PROPOSAL PENELITIAN
Diajukan
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Penelitian Pendidikan Sejarah
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
GALUH CIAMIS
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Pada umumnya
nama prasasti diambil dari nama tempat dimana prasasti itu berada. Begitu pula
dengan prasasti Kawali, karena tempat prasasti itu berada di Kawali.
Orang pertama
yang memberitakan tentang adanya prasasti di Kawali adalah seorang bangsa Eropa
yang pernah menjabat sebagai Gubernur Jenderal di Pulau Jawa. Orang tersebut
bernama Thomas Stamford Raffles. Ia juga seorang yang memiliki perhatian besar
terhadap sejarah serta kemasyarakatan suku-suku bangsa yang diam di Pulau Jawa.
Sebagai wujud
dari perhatiannya, kemudian ia melakukan penelitian dan membukukan hasil
penelitian itu. Buku itu diberi judul “History of Java” sebanyak dua jilid.
Dalam buku tersebut ia mencantumkan faksimil prasasti Kawali I beserta Batu tulis
Bogor pada tahun 1817. Raffles menyebutkan bahwa prasasti Kawali sebagian salah
satu di antara prasasti-prasasti dari zaman Pajajaran yang pada umumnya berisi
penghormatan terhadap para raja.
Uraian Raffles
mengenai prasasti, menarik perhatian bangsa Eropa lainnya. Orang yang pertama
kali membaca, mentranskripsi, serta menerjemahkan prasasti Kawali adalah
Friederich pada tahun 1855. Friederich menyebutkan bahwa atribut yang terdapat
di sudut kiri sebelah atas prasasti menyerupai trisula. Ia berpendapat bahwa
cakra disitu merupakan roda cakra dari kepercayaan agama Budha. Sedangkan
trisula berasal dari agama Ciwa. Keduanya menunjukkan bahwa pada waktu itu
sudah ada kepercayaan agama Ciwa dan Budha. Lama sebelumnya kedua agama itu
telah ada di tanah Sunda.
Penelitian
selanjutnya dilakukan oleh Veth pada tahun 1896. Dalam penyelidikan Veth
menyesalkan, karena prasasti itu tidak mengandung angka tahun, sehingga susah
untuk menempatkan nama raja itu dalam urutan raja-raja Pajajaran.
Sementara itu
Pleyte yang juga melakukan penyelidikan ia berpendapat bahwa Wastukancana
adalah raja sebelum Pajajaran, yang berkuasa di Galuh. Ia membandingkan
prasasti Kawali dan batu tulis Bogor, dengan naskah Carita Parahiyangan.
Sebelum
Pleyte, K.F. Holle telah mencoba pula melakukan penyelidikan terhadap prasasti
Kawali pada tahun 1867. J. Nooduyun pada tahun 1888.
Di samping
penelitian luar negeri yang telah mencoba melakukan pembacaan terhadap prasasti
Kawali, terdapat pula penelitian dalam negeri yang memiliki perhatian besar
terhadap prasasti seperti Saleh Dana Sasmita (1984), Atja (1990), dll.
Dari rentang
waktu yang cukup jauh, yaitu semenjak ditentukannya prasasti oleh Raffles, pada
tahun 1995, telah ditemukan pula prasasti yang lainnya yang lokasinya tidak
begitu jauh dari prasasti sebelumnya. Prasasti tersebut ditemukan oleh Sopar,
seorang juru pelihara PNS, ketika sedang membersihkan lokasi situs. Dengan
demikian, jumlah prasasti menjadi bertambah satu yaitu menjadi enam buah.
B. Rumusan
Masalah
Adapun rumusan
masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana keberadaan
prasasti di Situs Astana Gede Kawali?
2. Bagaimana sejarah Situs
Astana Gede Kawali?
3. Bagaimana upaya
pelestariannya?
C. Tujuan Penelitian
Setiap diadakan penelitian
tentu mempunyai tujuan yang ingin dicapai pada dasarnya kegiatan penelitian ini
bertujuan untuk mengungkapkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam
peninggalan arkeologis di kota Ciamis tentang
Prasasti Kawali terutama unsur kesejarahannya.
Selain tujuan umum tersebut di atas kegiatan penelitian itu juga mempunyai
tujuan khusus sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui tentang keberadaan prasasti kawali.
2.
Untuk mengetahui tentang sejarah situs astana gede
kawali.
3.
Untuk mengetahui upaya pelestarianya.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara
praktis.
Adapun manfaat
penelitian dapat penulis kemukakan sebagai berikut :
1.
Manfaat teoritis penelitian ini adalah sebagai bahan
tambahan dan untuk melengkapi sejarah lokal, khususnya tentang Keberadaan
Prasasti Kawali di Situs Astana Gede Kawali Dusun Indrayasa Kecamatan Kawali
Kabupaten Ciamis dan upaya
pelestariannya.
2.
Manfaat praktis penelitian ini diharapkan pula dapat memberikan
pemikiran khususnya bagi penulis dan sebagai informasi kepada para pembaca
untuk lebih mengetahui dan memahami tentang Keberadaan Prasasti Kawali di Situs
Astana Gede Kawali Dusun Indrayasa Kecamatan Kawali Kabupaten Ciamis (Suatu
Tinjauan Sejarah).
E. Sistematika Penulisan
Agar
penulisan penelitian ini lebih teratur, maka penulis menyusun sistematika
pembahasan sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan, dalam bab ini menguraikan
pokok-pokok berkenaan dengan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II Kajian Pustaka, dalam bab ini menguraikan pokok-pokok berkenaan
dengan Prasasti kawali dan sejarah kawali.
BAB III Metodologi Penelitian yang Digunakan, Penentuan Lokasi dan
Sasaran Penelitian, Data dan Sumber yang diperlukan, Teknik Pengumpulan Data,
Identitas Narasumber, Pengolahan dan Analisis data, Jadwal Penelitian.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.Prasasti Kawali
Prasasti adalah
sebuah pesan nilai sejarah dan budaya peninggalan leluhur yang merupakan bukti
otentik tentang suatu peradaban disuatu tempat. Prasasti bisa memperkuat adanya
sejarah seperti prasasti yang ada di astana gede yaitu di keraton surawisesa.
(Wawancara dengan narasumber : Seno R.A)
Prasasti
adalah suatu sumber tertulis sebagai peringatan ataupun amanah dari seorang
pemimpin terdahulu untuk rakyatnya.
(Wawancara dengan narasumber : Mang Onay)
Prasasti
adalah satu tulisan atau karya sastra zaman dahulu sebelum adanya alat tulis
untuk menuangkan ide, pepatah yang dituangkan dibatu. Karena mengingkan
keabadian atau pesan dari amanah dalam prasasti tersebut. Prasasti yaitu pesan
untuk masa depan yang digunakan. (Wawancara dengan narasumber : Herli Mulyana)
Prasasti yang
dalam bahasa asing disebut glory, laudation, direction, atau guidance
merupakan pujian, sanjungan, keagungan, petunjuk, pedoman atau doa yang
menyatakan suatu permohonan (keinginan untuk kedamaian dalam kerajaan; atau
inskripsi dalam bahasa yang indah (berirama). Ahli prasasti itu sendiri biasa
disebut epigraf, sedangkan ilmunya disebut epigrafi.
Ada perbedaan
antara epigrafi dengan paleografi. Epigrafi merupakan tulisan kuno mendasarkan
pada bahan-bahan tertulis (teks), sedangkan paleografi adalah
penyelidikan tulisan didasarkan kepada bentuk dan perkembangan tulisan atau
uruf itu sendiri.
Fungsi
prasasti adalah untuk merekonstruksi sejarah kuno Indonesia sampai dengan abad
XVI. Adapun bahannya ada yang terbuat dari tamra (tembaga), ripta
(daun tal), dan upala (batu). Isinya beragam, di
antaranya ada yang berupa:
1.
Surat kepada raja
2.
Memperingati peresmian bangunan suci/arca
3.
Peringatan kemenangan raja dalam menaklukan daerah
4.
Ketetapan hukum/keputusan pengadilan
5.
Tulisan lain, berupa
mantra magis dalam upacara.
Bahasa prasasti biasanya singkat. Prasasti ada juga sebagai legitimasi.
Raja-raja yang membuat silsilah biasanya raja-raja yang tidak berhak atas
takhta kerajaan.
Struktur isi prasasti biasanya menyangkut:
a.
Baris awal berupa penanggalan. Ada yang disebut pancawarna
yakni pasaran, wugu yaitu kedudukan terhadapan
matahari.
Cara penulisannya terdiri atas: ada yang dari atas ke
bawah, berputar dari sisi pertama sampai keempat, ada juga yang berputar dari
bawah pada dua sisi.
b.
Perintah raja, biasanya berupa nama raja atau pejabat
c.
Pejabat yang menerima perintah
d.
Isi perintah raja
e.
Alasan
f.
Keterangan
g.
Nama penulis (citraleka/patralekha)
h.
Persembahan
Prasasti
merupakan salah satu peninggalan nenek moyang masa lalu yang bisa dijadikan
sebagai ciri utama adanya perubahan dalam kehidupan budaya orang Sunda dari
kebudayaan prasejarah kepada kebudayaan sejarah. Prasasti merupakan tulisan
yang ditulis di atas batu atau lembaran logam. Tulisannya terdiri atas
rangkaian aksara, sedangkan aksara itu sendiri merupakan lambang suara,
terutama suara yang dikeluarkan atau yang dipakai dan digunakan oleh manusia.
Dengan adanya prasasti tampak bahwa aksara, menulis, dan membaca sudah menjadi
pengetahuan dan kegiatan baru dalam kehidupan sehari-hari orang Sunda pada masa
itu di tatar Sunda.
Prasasti yang
pertama kali ada di tata Sunda ditulis
di atas batu dengan menggunakan aksara Pallawa dan bahasa Sansekerta. Cara
menulisnya dengan teknis ditatah yang
terbuat dari besi, sedangkan alat pemukulnya menggunakan batu atau berupa lempengan
besi. Hasilnya akan berupa rangkaian aksara atau huruf yang tampak ‘legok’ dan
menjorok ke dalam di atas batu tersebut.
Prasasti
peninggalan nenek moyang orang Sunda pada masa Tarumanagara, yang beraksara
Pallawa dan berbahasa Sansekerta, yang sudah ditemukan jumlahnya ada tujuh
buah. Ketujuh prasasti tersebut ditemukan di sekitar daerah Bogor (5 buah
prasasti), Bekasi (1 buah prasasti), dan Pandeglang (1 buah prasasti). Setiap
prasasti diberi nama sesuai dengan nama tempat ditemukannya prasasti tersebut,
seperti: (1) Prasasti Ciaruteun, yang
ditemukan di pinggir sungai Ciaruteun (Ciampea, Bogor); (2) Prasasti Kebon Kopi, ditemukan di Kebon
Kopi (Ciampea, Bogor); (3) Prasasti
Koleangkak (Bogor); (4) Prasasti
Pasir Awi, yang ditemukan di Pasir Awi (Ciampea, Bogor); (5) Prasasti Pasir Muara, ditemukan di Pasir
Muara di Pinggir kali Cianten (Ciampea, Bogor); (6) Prasasti Tugu, diketemukan di Desa Tugu (Kecamatan Tarumajaya,
Kabupaten Bekasi); serta (7) Prasasti
Cidangiang, terdapat dan ditemukan di pinggir kali Cidangiang (Kecamatan
Munjul, Kabupaten Pandeglang). Ketujuh prasasti tersebut sampai sekarang masih
tetap berada di tempatnya, kecuali Prasasti Ciaruteun yang sudah dipindahkan ke
tempat yang lebih tinggi dari pinggir kali Walungan Ciaruteun agar tidak hanyut
dan tidak terbawa banjir. Demikian juga dengan Prasasti Tugu yang sudah
dipindahkan ke Museum Nasional di Jakarta. (Ekadjati, dalam Suryani, 2007).
Aksara Pallawa
dan bahasa Sansekerta berasal dari India, yang pernah dikenalkan di kalangan
masyarakat di Tatar Sunda sudah bisa menulis dan membaca, meskipun jumlahnya
masih sangat sedikit. Di India juga yang memakai dan menggunakan aksara Pallawa
dan bahasa Sansekerta hanya kalangan ‘kaum agama’nya saja (Brahmana).
Jika dilihat
berdasarkan bentuk aksaranya, dibandingkan dengan bentuk aksara yang digunakan
di tempat asalnya (India), ketujuh prasasti yang berada di tatar Sunda tersebut
dibuat kurang lebih pada abad ke-15 Masehi (sekitar tahun 450). Yang pada waktu
itu memang di India sedang tumbuh dan berkembangnya aksara dan bahasa
Sansekerta sampai terkenal dengan sebutan ‘jaman klasik’. Di India sendiri
aksara Pallawa dan bahasa Sansekerta tersebut banyak digunakan untuk mencatat
atau membahas bermacam-macam masalah yang ada kaitannya dengaan kehidupan serta
ajaran agama Hindu.
Ketujuh
prasasti yang beraksara Pallawa dan berbahasa Sansekerta tersebut isinya
menyinggung-nyinggung keberadaan seorang raja, kerajaan, serta agama yang
dianutnya. Namun raja yang disebut-sebut dalam prasasti tersebut adalah Raja
Purnawarman, yang bertakhta di Prasasti Tugu pun disebutkan pula nama ayah dan
kakeknya yang bernama Rajadiraja Guru dan Rajaresi.
Dengan adanya
pengaruh mengenai aksara dan kegiatan menulis serta membaca, masyarakat Tatar
Sunda pada zaman Tarumanagara menjadi mengerti dan paham terhadap konsep
negara, konsep agama serta konsep kemasyarakatan secara lebih luas dan mendalam
lagi daari segi struktur, wawasan, dan pengetahuan ketatanegaraannya. Yang
semula hanya menggunakan konsep padukuhan
‘desa’, sekarang menggunakan konsep kerajaan yang dengan menggunakan konsep
berbentuk negara.
Yang semula
hanya menganut kepercayaan terhadap roh-roh halus ‘karuhun’ (animisme) dan
kekuatan gaib yang berada dalam benda-benda material (dinamisme), menjadi
penganut agama Hindu. Selain itu, masyarakat yang tadinya hidup sederhana,
sekarang menjadi lebih banyak ragamnya (kompleks). Semuanya itu merupakan
pengaruh baru hasil dari hubungan atau adanya pergaulan dengan orang India
serta kebudayaannya.
Prasasti Kawali
Orang yang
pertama kali membaca Prasasti-prasasti Kawali adalah Friederich pada tahun
1853-1855. Hasil bacaannya tersebut kemudian dilanjutkan Holle (dalam Suryani,
2007) disertai koreksi dan pembahasan secara lebih luas, bertalian dengan salah
satu upaya untuk menjelaskan perihal bahasa yang terdapat pada
prasasti-prasasti Kawali dan prasasti Batutulis Bogor. Bahkan terbersit berita bahwa
perhatian terhadap prasasti di kedua prasasti itu mula-mula dari Friederich.
Demikian besar minatnya terhadap pemecahan isi prasasti sampai-sampai ia
membuat prasasti sendiri yang diletakkan di Kebun Raya Bogor (Krom, dalam
Suryani, 2007).
Prasasti-prasasti
tersebut terletak di kompleks pemakaman Astana Gede Kecamatan Kawali, Kabupaten
Ciamis. Ada enam buah batu di sana, satu di antaranya tidak berisi tulisan yang
oleh juru kunci biasa dinamakan batu pangradinan
(tempat bersolek) pangagung baheula. Sebuah
lagi berisi guratan berbentuk kotak-kotak berjumlah 45 buah, dan di luar
guratan tersebut terdapat sepasang bekas telapak kaki dan telapak tangan kiri.
Batu ini dianggap sebagai kalender abadi yang merupakan sistem penanggalan
tradisional bagi masyarakat Sunda dari abad ke-8 Masehi, yang telah berkembang
seabad sebelum kerajaan Mataram Kuno (Radiman, dalam Suryani 2007).
Dua prasasti
di antara yang empat buah lagi tersebut berisi tulisan: Sang hyang Linggahyang dan Sanghyang Linggabingba yang mungkin dipancangkan
sebagai tanda penghormatan terhadap kedua nama tokoh tersebut. Sedangkan yang
dua lagi berisi wangsit Prabu Raja Wastu bagi para penerusnya. Kedua prasasti
tersebut oleh para pakar diberi nomor I dan II. Prassti Kawali I terdiri atas
10 baris, dan jika diteliti lebih lanjut, sebenarnya pada bagian punggungnya
pun masih terdapat tulisan. Prasasti Kawali II terdiri atas tujuh baris.
Berikut ini transliterasi kedua prasasti tersebut disajikan berdasarkan bacaan
Holle (dalam Suryani, 2007&2008):
Prasasti Kawali I
**Nihan tapa kawa-
li nu siya mulia tapa bha-
gya parebu raja was-
tu mangadeg di kuta kawa-
li nu mahayu na kadatuan
surawisésa nu marigi sa-
kulili (ng) dayeuh najur sagala
désa aya ma nu pa(n)deuri pakéna
gawé rahayu pakeun ja-
ya dina buana.*
‘yang bertapa
di Kawali ini adalah yang mulia pertapa yang berbahagia Prabu Raja Wastu yang
bertahta di kota Kawali, yang memperindah keraton Surawisesa yang membuat parit
(pertahanan) sekeliling ibukota, yang menyejahterakan seluruh negeri. Semoga ada
yang kemudian membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia’.
Prasasti
Kawali I merupakan Prasasti yang pertama kali ditulis dengan menggunakan aksara
Sunda Kaganga dan bahasa Sunda Buhun “kuno”. Dalam prasasti tersebut
disebut-sebut nama Prabu Wastu yang bertakhta di Kota Kawali di Keraton Surawisesa. Berdasarkan prasasti
tersebut, kita tahu bahwa di Tatar Sunda pernah ada seorang raja yang bernama
Prabu Wastu. Raja Wastu bertempat tinggal di sebuah keraton yang bernama Surawisesa, di pusat kota kerajaan yang
bernama Kawali. Prasasti tersebut sebagaimana dijelaskan tadi ditemukan di
Kompleks Astana Gede yang terletak di Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis
sekarang.
Jika kita
amati dengan seksama, isi Prasasti Kawali menguraikan wasiat Prabu Niskala
Wastu Kancana terhadap anak-anaknya serta keturunannya agar kerajaan Sunda
berjaya selama-lamanya. Tampak sekali ada pertalian bathin dari diri dan
pribadi Prabu Niskala Wastu Kancana sebagai seorang raja serta ahli bertapa yang sudah menemukan
sumber hakikat kehidupan untuk kesejahteraan negara.
Prasasti
Kawali 1B dan 2, menguraikan amanat Prabu Niskala Wastu Kancana yang berbunyi
teksnya sebagai berikut:
Hayua diponah-ponah,
Hayua dicawuh-cawuh.
Inya nékér inya ager
Inya ninycak inya rempag.
‘Jangan dihalangi,
Jangan diganggu,
Yang berusaha memotong niscaya akan jatuj tersungkur,
Yang berusaha menginjak niscaya akan roboh
`
Prasasti
Kawali II
Aya ma...
Nu
ngeusi bha-
Gya
kawali ba-
Ri
pakéna kere
Ta
bener
Pakeun
na(n)jeur
Na
juritan
‘Semoga ada
yang kemudian mengisi (negeri) Kawali ini dengan kebahagiaan sambil membiasakan
diri berbuat kesejahteraan sejati agar unggul dalam perang’.
Amanat dari
Prabu Niskala Wastu Kancana dalam Prasasti Kawali tersebut berupa cegahan atau
larangan serta doa. Jangan berbuat keburukan atau hal-hal yang tidak baik.
Niscaya yang melanggar larangan tersebut akan bertemu dengan kesusahan atau
celaka. Dia berharap agar daerah Kawali terus ada dan ditempati, Dia juga
berupaya agar masyarakat yang berada di tempat itu pun diharapkan bahagia,
makmur, dan adil. Dengan cara demikian, selamanya akan unggul dalam peperangan.
Tatkala di Kerajaan Majapahit ada Perang Paregreg
‘perang saudara’ sekitar tahun 1453-1456 yang mengakibatkan mundurnya
kerajaan tersebut, Prabu Niskala Wastu Kancana saat itu sedang ‘bertapa dalam
keadaan senang hati’ karena melihat negaranya dalam keadaan sejahtera, sambil
melakukan brata siya puja tan palum (‘tirakat’
dan beribadah).
Prasasti Kawali 6 (transkripsi Darsa, 1998)
ini preting
galna nu atis
ti rasa aya ma nu
ngeusi dayeuh baweu
ulah botoh bisi
kokoro
“Inilah amanat dari mendiang yang telah sempurna. Bagi
siapapun yang tinggal di negeri ini, jangan serakah karena akan menimbulkan
kesengsaraan/penderitaan/kemiskinan.
Prasasti yang diberi nama
Kawali 6 merupakan prasasti terakhir yang ditemukan di Kabuyutan Astana Gede
Kawali, untuk mempertegas sikap dan tuntunan moral dari seorang raja sebagai
pemimpin kepada bawahanya (rakyat) agar tidak berlaku serakah karena perilaku demikian hanya akan membuat diri kita
sengsara dan miskin.
B.Sejarah Kawali
Lokasi peninggalan sejarah dan purbakala ini tepatnya berada sebelah utara
atau 27 km dari ibukota Kabupaten Ciamis, yakni di Dusun lndrayasa Kecamatan
Kawali Kabupaten Ciamis. Situs ini berada di kaki Gunung Sawal bagian timur. Tanah
situs ini berstatus tanah desa. Apabila ditempuh dengan kendaraan
baik motor ataupun mobil lamanya sekitar 45 menit. Keadaan jalan cukup baik
karena sudah mengalami pengaspalan,sehingga tidak sulit dijangkau.
Situs ini
berada pada ketinggian kurang lebih 365 meter dari permukaan air laut dengan
luas kurang lebih 5 Ha. Sebelah barat Situs tersebut terdapat sumber mata air
Cikawali yang tidak pernah kering walau musim kemarau. Batas situs ini yaitu,
sebelah utara Sungai Cikadondong, sebelah timur parit kecil dari Sungan
Ciguntur, sebelah selatan Sungai Cibulan, dan sebelah barat Sungai
Cigarunggung. Lingkungan situs ini berupa hutan lindung yang ditumbuhi oleh
berbagai vegetasi cukup rapatsehingga kelembaban situs cukup tinggi.
Lokasi ini juga merupakan pusat pemerintahan kerajaan Sunda-Galuh.
Raja-raja yang pernah bertahta di tempat ini adalah Prabu Ajiguna Linggawisesa,
yang dikenal dengan sebutan sang lumah ing kiding, kemudian Prabu Ragamulya
atau Aki Kolot, setelah itu Prabu Linggabuwana yang gugur pada peristiwa bubat,
Rahyang Niskala Wastukancana yang meninggalkan beberapa prasasti di lokasi ini,
dan Dewa Niskala anak dari Rahyang Wastukancana.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian yang Digunakan
Keberhasilan suatu penelitian
sangat ditentukan oleh kemampuan memilih serta menggunakan metode. Metode
penelitian dapat diartikan sebagai cara yang digunakan oleh peneliti dalam proses pemecahan masalah, sehingga dengan cara itulah tujuan yang
dihendaki peneliti dapat tercapai.
Sehubungan dengan itu Hasan (2003:21) menjelaskan bahwa "Metode penelitian adalah tata cara bagaimana
suatu penelitian dilaksanakan". Sementara itu
menurut Poerwadarminta, (1991:
649) “Metode
adalah suatu cara yang lebih dipikirkan dan dapat memberikan arah serta
petunjuk melakukan suatu penelitian”.
Metode yang dipandang sesuai
dengan pokok permasalahan penelitian ini dan juga sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai
adalah metode sejarah (historiografi).
Ada lima langkah yang harus dilakukan saat menggunakan metode historiografi tersebut. Adapun kelima langkah tersebut sebagaimana di kemukakan
oleh Kuntowijoyo (2005:91) bahwa penelitian sejarah mempunyai lima
tahap, yaitu: (1) pemilihan topik, (2) pengumpulan sumber, (3) verifikasi
(kritik sejarah), (4) interpretasi, dan (5) penulisan lebih jelasnnya mengenai
kelima langkah tersebut dijelaskan Kuntowijoyo (2005:91) sebagai berikut.
Pemilihan
topik. Topik sebaiknya dipilih berdasarkan : (1) kedekatan emosional, (2)
kedekatan intelektual, dua syarat itu, subjektif dan objektif, sangat penting
karena orang hanya bekerja dengan baik kalau dia senang dan dapat. Setelah
topik ditemukan, langkah berikutnya (3) membuat rencana penelitian.
Pengumpulan
sumber. Sumber (sumber sejarah disebut juga data sejarah; bahasa
Inggris datum ) yang dikumpulkan harus sesuai dengan jenis sejarah yang
akan ditulis. Sumber itu, menurut bahannya dapat dibagi menjadi dua: tertulis
dan tidak tertulis, atau dokumen dan artifact.
Verifikasi. Setelah
diketahui secara persis topik yang diajukan dan sumber sudah terkumpul, tahap
berikutnya adalah verifikasi, kritik sejarah, atau keabsahan sumber. Verifikasi
ada dua macam: autentisitas atau keaslian sumber, atau kritik ekstern, dan
kredibilitas, atau kebiasaan dipercayai, atau kritik intern.
Interpretasi.
Interpretasi atau penafsiran sering disebut sebagai biang subjektivitas. Sebagian itu benar, tapi
sebagian salah. Benar, karena penafsiran sejarawan, data tidak bisa berbicara.
Sejarawan yang jujur, akan mencantumkan data dan keterangan dari mana data itu
diperoleh. Tahap interpretasi, paling tidak meliputi analisis dan sintesis.
Penulisan. Dalam
penulisan sejarah, aspek kronologi sangat penting. Penyajian penelitian dalam
bentuk tulisan mempunyai tiga bagian : (1) Pengantar, (2) Hasil Penelitian, dan
(3) Simpulan.
Dengan menempuh kelima langkah di
atas, dapat dipastikan akan diperoleh hasil penelitian yang diharapkan.
Tentunya langkah demi langkah harus dikuasai benar agar tidak terjadi
kekeliruan yang tidak diharapkan sehingga berakibat pada kurang tercapainya
tujuan penelitian ini.
B. Penentuan Lokasi dan
Sasaran Penelitian
Lokasi penelitian ini di Dusun Indrayasa
Kecamatan Kawali Kabupaten Ciamis. Adapun yang dijadikan sasaran
penelitian ini adalah tentang keberadaan prasasti kawali di situs astana gede
kawali dusun Indrayasa kecamatan Kawali kabupeten Ciamis ditinjau dari aspek
sejarah.
C. Data dan Sumber Data yang Diperlukan
Keberadaan prasasti kawali
di situs astana gede kawali yang meninggalkan jejak sejarah, yang dijadikan penulis sebagai
data dan sumber data dalam penelitian ini yaitu melalui wawancara. Di samping
itu penulis berupaya untuk mengumpulkan data lain dari berbagai literatur yang
ada di perpustakaan pemerintah daerah Kabupaten Ciamis.
D. Teknik Pengumpulan Data
Ada
beberapa teknik yang digunakan dalam proses pengumpulan data yang diperlukan penelitian ini. Beberapa
teknik yang dimaksud, meliputi: (1) studi pustaka; dan (2) studi lapangan, yang
terdiri dari (a) teknik observasi, (b) teknik wawancara atau interview.
Adapun
uraian lebih lanjut mengenai penggunaan teknik
pengumpul data tersebut, sebagai berikut.
1)
Teknik Studi
Pustaka
Teknik studi pustaka digunakan dalam
rangka mencari dan memperoleh data informasi dari berbagai sumber tertulis yang
memberikan keterangan tentang pokok permasalahan yang diteliti. Data informasi
ini sangat penting sebagai tolok ukur peneliti dalam memahami fenomena yang
akan dipecahkan, sehingga dengan
memahaminya akan timbul inisiatif diri
untuk berpikir dan bertindak.
2)
Teknik Studi Lapangan
a.
Teknik Observasi
Teknik observasi digunakan sebagai upaya
memperoleh data informasi dari informan (yang menjadi objek penelitian) di
lapangan. Data informasi ini sangat dipentingkan terutama sebagai bukti
objektif atau bukti empiris dari fenomena yang menjadi pokok masalah dalam
penelitian ini. Sehingga penelitian ini terlepas dari perkiraan subjektivitas
dari berbagai pihak yang terkait, utamanya dari peneliti sendiri. Untuk
menghidari terjadinya hal itu, maka peneliti melakukan observasi. Dari
observasi yang telah dilakukan, maka diperoleh suatu kejelasan yang menjadi
sebab akibat terjadinya fenomena yang dimaksudkan pada latar belakang
penelitian ini.
b.
Teknik Wawancara (interview)
Teknik wawancara (interview)
digunakan sebagai upaya untuk menggali data keterangan timbulnya fenomena di
lapangan dari objek yang diwawancarai oleh peneliti ketika melakukan observasi.
Dengan cara mewawancarai objek yang diteliti nantinya akan diperoleh berbagai
keterangan apa adanya tentang sebab akibat terjadinya fenomena seperti yang
diungkap dalam penelitian ini.
E. Identitas Nara Sumber
Untuk
melaksanakan teknik pengumpulan data di atas, diperlukan beberapa orang nara sumber yang diwawancarai,
sebagai berikut :
1.
Seno A.R
2.
Herli Mulyana
3.
Mang Onay
F. Pengolahan dan Analisis
Data
Data yang telah terkumpul (diperoleh) melalui berbagai teknik
pengumpul data belum berarti apa-apa bagi pokok permasalahan yang diteliti.
Untuk itu data tersebut perlu diolah.
Adapun prosedur yang
akan ditempuh pada saat pengolahan data, adalah sebagai berikut.
1.
Menganalisis data hasil studi kepustakaan
2.
Menganalisis data hasil
wawancara
3.
Mengambil kesimpulan
G. Jadwal Penelitian
Waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan penelitian ini,
sebagai berikut:
1. Studi kepustakaan : 20 Juni 2013
2. Penjajagan awal : 21 Juni 2013
3. Penyusunan proposal : 27 Juni 2013
4. Seminar penelitian : 29 Juni 2013
5.
Penelitian lapangan : 27 Juni 2013
6.
Pengolahan data : 27 Juni 2013
Untuk lebih jelasnya maka penulis
sajikan dalam bagan sebagai berikut
Jadwal
Penelitian
No
|
Kegiatan
|
20/06/2013
|
21/06/2013
|
27/06/2013
|
29/06/2013
|
1
|
Studi
kepustakaan
|
|
|
|
|
2
|
Penjajagan
awal
|
|
|
|
|
3
|
Penyusunan
proposal
|
|
|
|
|
4
|
Seminar
penelitian
|
|
|
|
|
5
|
Penelitian
lapangan
|
|
|
|
|
6
|
Pengolahan
data
|
|
|
|
|
DAFTAR PUSTAKA
Djaja.(2002).Astana Gede Kawali. Ciamis : Tanpa
Penerbit (Tp) .
Siti Dloyana K., dkk
(1995). Situs Astana Gede Kawali. Bandung
: Departemen pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Kebudayaan Balai
Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Jawa Barat
Adeng dkk. 1995/1996. Situs Astana Gede Kawali. Balai Kajian
Sejarah dan Nilai Tradisional Jawa Barat.
Ijam Lestari. 1973. Astana Gede Kawali. Diskripsi Penilik
Kebudayaan Kawali. Depdikbud Kabupaten Ciamis.
Wawancara dengan
narasumber
LAMPIRAN PHOTO